https://www.youtube.com/watch?v=GmA5atfoFVA
Rabu, 17 Februari 2016
Modul Praktikum Farmakologi II
MODUL PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI II
PENYUSUN
:
Poppy Diah
Palupi, S.Far.,Apt
Nurista Dida
Ayuningtyas, S.Farm, Apt
PROGRAM STUDI D3 FARMASI
AKADEMI FARMASI NUSAPUTERA
SEMARANG
2015
KATA
PENGANTAR
Segala
puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat-Nya
penyusunan modul praktikum Farmakologi ini dapat selesai sehingga dapat digunakan
oleh mahasiswa sebagai pedoman Praktikum Farmakologi II di Akademi
Farmasi “NUSAPUTERA” Semarang.
Kami
mengucapkan terima kasih kepada pihak – pihak yang telah membantu dalam
penyusunan Modul Praktikum Farmakologi II ini.
Meskipun
demikian kami menyadari bahwa Modul Praktikum Farmakologi II ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami
mengharapkan kritik, masukan dan saran dari pihak – pihak lain demi
kesempurnaan modul Praktikum ini. Sehingga nantinya buku ini menjadi lebih
berguna dalam melaksanakan Praktikum Farmakologi II.
Semarang, Januari 2015
PENYUSUN
PETUNJUK
KERJA LABORATORIUM FARMAKOLOGI
1. Sebelum melakukan
kegiatan praktikum, diperlukan persiapan yang matang dan niat yang serius.
Setiap mahasiswa hendaknya mengetahui prinsip dasar bekerja di laboratorium farmakologi.
Sebelum memulai praktikum, mahasiswa harus membaca dan memahami buku petunjuk
praktikum dan prosedur percobaan
2. Tiga hal yang
perlu diperhatikan selama bekerja di laboratorium farmakologi
a.
Kebersihan
Selama bekerja, kebersihan laboratorium selalu dijaga.
Setiap mahasiswa diwajibkan memakai jas praktikum yang bersih. Setelah selesai
melakukan percobaan, mahasiswa harus membersihkan dan keringkan alat-alat yang
digunakan, termasuk wadah atau kandang plastik tempat hewan percobaan.
Benda-benda lain yang tidak berguna dimasukkan ke dalam keranjang sampah.
Mahasiswa meninggalkan laboratorium dalam keadaan bersih, rapi seperti pada
waktu anda memasukinya. Dalam beberapa hal, mungkin perlu pembersihan dengan desinfektan.
Sampah biologis seperti sisa jaringan, sampel darah, atau hewan mati, perlu
dibungkus dengan plastik untuk selanjutnya di insenerasi (diabukan).
b.
Ketepatan
Ketepatan yang harus diperhatikan :
Ø Ketepatan dalam
menimbang
Ø Ketepatan dalam
mengukur volume larutan, suspensi atau sediaan obat lain yang akan diberikan
Ø Ketepatan dalam
menentukan dosis obat yang akan diberikan
Ø Ketepatan cara
pemberian obat
c.
Pengamatan
Percobaan akan memberikan hasil yang baik jika pengamatan
dilakukan secara layak. Setiap perubahan yang terjadi harus segera dicatat.
3. Peserta praktikum
harus datang tepat waktu, bagi yang berhalangan hadir, waji memberikan
keterangan yang jelas
4. Setiap kali
memulai kegiatan akan diadakan tes untuk masing-maisng percobaan
5. Tidak diadakan
praktikum ulang (inhal).
6. Peserta praktikum
tidak boleh meninggalkan laboratorium selama praktikum berlangsung, kecuali
dengan ijin khusus dari dosen pengampu atau asisten mahasiswa yang bertanggung
jawab saat praktikum berlangsung. Hanya seorang praktikan dari suatu kelompok
yang diperbolehkan meninggalkan laboratorium.
7. Rombongan
praktikum akan dibagi menjadi kelompok-kelompok, setiap kelompok bertanggung
jawab atas peralatan yang dipakai, dan percobaan yang dilakukan. Dalam semua
percobaan, perlu ada pembagian tugas dalam suatu kelompok, misalnya : sebagian
menyiapkan alat-alat dan obat-obatan, mencatat dosis dalam sampel biologis.
Sebagian lain, menyiapkan hewan percobaan dan memberikan obat pada hewan
tersebut. Sisanya melakukan pengamaan dan mencatat hasil pengamatan.
8. Laporan praktikum
harus diserahkan sebelum melakukan percobaan berikutnya.
9. Beberapa
percobaan hanya diperlukan hasil tiap kelompok, lainnya memerlukan hasil-hasil
dari kelompok lain ntuk dihitung secara statistik
10. Setiap kerusakan
atau gangguan harus dilaporkan secepatnya.
11. Sebelum mulai
percobaan alat-alat yang diperlukan dicek kebenaran jumlah dan kondisinya
(keadaan baik atau telah rusak)
12. Hewan percobaan
diperlukan dengan kasih sayang. Hal ini akan membantu mahasiswa dalam melakukan
percobaan, dan mengurangi pengaruh yang tidak dikehendaki yang disebabkan
karena takut dan sebagainya, hewan jangan disakiti.
13. Pada akhir
praktikum akan diadakan responsi/ post tes.
CARA BEKERJA
DENGAN HEWAN PERCOBAAN
1. Setiap orang,
baik praktikan maupun peneliti yang bekerja di laboratorium dengan menggunakan
hewan percobaan sebaiknya membaca :
a.
Petunjuk pemeliharaan dan menggunakan hewan percobaan
b.
Dasar-dasar pemeliharaan hewan percobaan
2. Perlakukanlah
hewan percobaan dengan kasih sayang dan jangan disakiti
3. Cara
memperlakukan hewan percobaan :
a.
Kelinci dan marmot
Jangan sesekali memebang telinga kelinci karena syaraf
dan pembuluh darah dapat terganggu
b.
Tikus dan mencit
Peganglah hewan-hewan ini pada ekornya, tetapi hati-hati
jangan sampai hewan tersebut membalikkan tubuhnya dan menggigit anda. Karena
itu selain ekornya, peganglah juga leher belakang dekat kepala dengan ibu jari
dan telunjuk.
Catatan :
Adakalanya diperlukan kaos tangan dari karet atau kain
yang cukup tebal untuk melindungi tangan dari gigitan hewan. Akan tetapi bagi
yang sudah terbiasa lebih baik tanpa kaos tangan sebab kontak langsung dengan
hewan uji akan lebih mudah mengontrol gerakan hewan.
Gambar 1. Cara memegang tikus
Gambar 2. Cara memegang mencit
4. Menggunakan
kembali hewan yang telah dipakai
Untuk menghemat
biaya, bila mungkin diperbolehkan memakai suatu hewan percobaan lebih dari satu
kali. Walaupun demikian jika hewan tersebut telah digunakan dalam suatu periode
dan obat yang digunakan pada percobaan sebelumnya masih berada di dalam tubuh
hewan, kemungkinan hasil percobaan berikutnya akan memberikan induktor dan
inhibitor enzim. Dengan dalih inilah, maka hewan tersebut baru boleh digunakan
lagi untuk percobaan berikutnya setelah selang waktu minimal 14 hari.
CARA MEMBERI KODE PADA HEWAN PERCOBAAN
Pemberian kode seringkali diperlukan untuk
mengidentifikasi hewan percobaan yang terdapat dalam suatu kelompok atau
kandang. Sehingga hewan-hewan percobaan perlu sekali diberi kode. Pemberian
kode dapat dilakukan dengan menggunakan larutan asam pikrat 10% dalam air
dengan sebuah sikat/ kuas. Selain itu bisa dengan menggunakan spidol dengan
catatan harus sering melakukan pengecekan dan pemberian kode ulangan.
Punggung hewan dibagi menjadi tiga bagian :
1.
Bagian kanan menunjukkan angka satuan
2.
Bagian tengah menunjukkan angka puluhan
3.
Bagian kiri menunjukkan angka ratusan
MEMBERI MAKAN
HEWAN PERCOBAAN UNTUK MENGURANGI VARIASI BIOLOGIS
1. Percobaan dengan
menggunakan hewan percobaan biasanya memberikan data yang memiliki variasi/ deviasi
lebih besar dibandingkan dengan percobaan secara in vitro, karena adanya variasi biologis. Untuk menjaga supaya
variasi tersebut minimal, hewan percobaan yang digunakan haruslah mempunyai
spesies dan strain yang sama, usia yang seragam, jenis kelamin yang sama serta
dipelihara dalam kondisi laboratorium yang memenuhi standar minimal
laboratorium dengan kondisi ruang yang dapat dikendalikan.
2. Hewan percobaan
harus diberi makan sesuai dengan makanan standar untuknya dan diberi minuman
dengan standar layak konsumsi ad libitum.
3. Lebih lanjut, untuk
mengurangi variasi biologis, hewan harus dipuasakan semalam (minimal 14 jam)
sebelum percobaan dimulai. Dalam periode ini hewan hanya diperbolehkan minum
air ad libitum.
LUKA GIGITAN
HEWAN
Imunisasi tetanus disarankan bagi semua orang yang
bekerja dengan hewan percobaan. Luka yang bersifat abrasif atau luka yang agak
dalam karena gigitan hewan ataupu karena alat-alat yang telah digunakan untuk
percobaan, haruslah diobati secepatnya menurut cara-cara pertolongan pertama
pada kecelakaan. Apabila korban gigitan belum pernah mendapat kekebalan
terhadap tetanus, ia harus mendapatkan imunisasi profilkasis.
MEMUSNAHKAN HEWAN
PERCOBAAN
1. Cara terbaik
untuk membunuh hewan ialah dengan memberikan suatu anastetik over dosis.
Injeksi barbiturat (natrium pentobarbital 300 mg/ml) secara intravena untuk
anjing dan kelinci, secara intra peritoneal atau intra toraks untuk marmot,
tikus dan mencit, atau dengan inhalasi menggunakan kloroform, karbon dioksida,
nitrogen dan lain-lain di dalam wadah tertutup untuk semua hewan tersebut
diatas.
2. Hewan disembelih,
kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik dan dibungkus lagi dengan kertas,
diletakkan di dalm tas plastik, ditutup dan disimpan dalam almari pendingin
atau langsung diabukan.
PEMBERIAN OBAT
PADA HEWAN PERCOBAAN
1. Alat suntik
a.
Spuit dan jarum suntik harus steril jika akan digunakan
pada kelinci, marmot, dan anjing. Tetapi tidak perlu steril melainkan sangat
bersih untuk tikus dan mencit.
b.
Volume cairan atau larutan yang dapat diberikan pada
hewan percobaan tidak diperbolehkan melebihi volume maksimal (tabel 1) yang
diperbolehkan. Pemberian larutan diatas volume tersebut dapat bersifat toksik
dan menyakiti hewan percobaan. Sangat disarankan pemberian cairan/ larutan
adalah sebesar separuh (0,5x) volume maksimal.
c.
Setelah penyuntikan, cucilah spuit dan jarum suntik
tersebut, semprotkan cairan ke dalam gelas beker, dan jarum suntk dipegang
erat-erat. Ulangi cara ini tiga kali.
TABEL 1. Daftar Volume Maksimal Larutan Sediaan Uji Yang
Dapat Diberikan pada Berbagai Hewan
Jenis
Hewan Uji
|
Volume
maksimal (ml) sesuai jalur pemberian
|
||||
i.v
|
i.m
|
i.p
|
s.c
|
p.o
|
|
Mencit (20-30g)
|
0,5
|
0,05
|
1,0
|
0,5-10
|
1,0
|
Tikus (100 g)
|
1,0
|
0,1
|
2,5
|
2,5
|
5,0
|
Hamster (50 g)
|
-
|
0,1
|
1-2
|
2,5
|
2,5
|
Marmot (250 g)
|
-
|
0,25
|
2-5
|
5,0
|
10,0
|
Merpati (300 g)
|
2,0
|
0,5
|
2,0
|
2,0
|
10,0
|
Kelinci (2,5 kg)
|
5-10
|
0,5
|
10-20
|
5-10
|
20,0
|
Kucing (3 kg)
|
5-10
|
1,0
|
10-20
|
5-10
|
50,0
|
Anjing (5 kg)
|
10-20
|
5,0
|
20-50
|
10,0
|
100,0
|
Sumber : Suhardjono D. 1995. Percobaan
Hewan Laboratorium. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, hal. 207
2.
Pemberian obat
a. Pemberian per oral
Kelinci, marmot
Cairan obat diberikan dengan pertolongan kateter yang menggunakan mouth block. Mouth block dipasang ketika
hewan dalam posisi duduk. Mouth block
adalah pipa kayu yang berbentuk silinder (panjang sekitar 12 cm, diamater luar
3 cm, diameter lubang 7 mm). Sewaktu memasang mouth block tekan rahang hewan dengan ibu jari dan telunjuk.
Celupkan kateter karet ke dalam parafin cair, lalu masukkan kateter ke
dalam oesofagus melalui lubang mouth
block. Kateter harus dimasukkan sekitar 20-25 cm (ditandai kateter pada 25
cm). Untuk memeriksa apakah kateter masuk oesofagus dan bukan trakhea, celupkan
ujung luar kateter ke dalam air. Jika timbul gelembung-gelembung udara, berarti
kateter tersebut tidak masuk ke oesofagus. Bentuk obat seperti tablet, puder
atau kapsul diberikan kepada hewan pada posisi duduk dengan pertolongan pipa
plastik dan alat pendorong. Pipa tersebut dimasukkan ke dalam pharynk dan obat didorong masuk.
Tikus, mencit
Pemberian cairan obat haruslah dalam bentuk larutan, emulsi atau suspensi.
Pemberian larutan atau emulsi kepada tikus dan mencit per oral dilakukan dengan
pertolongan jarum suntik yang ujungnya tumpul (bentuk bola) atau disebut juga
dengan jarum per-oral. Teknik pemberian per oral sangat diperhatikan pada saat
memasukkan jarum per oral ke dalam lambung, sehingga tidak masuk ke dalam
saluran pernapasan yang dapat mengakibatkan kematian pada hewan percobaan.
b. Pemberian secara intraperitoneal
Tikus dan mencit
Peganglah tikus atau mencit pada ekornya dengan tangan kanan, biarkan
mereka mencengkeram anyaman kawat dengan kaki depannya. Dengan tangan kiri
jepitlah tengkuk tikus/ mencit diantara jari telunjuk dan jari tengah (bisa
juga dengan jari telunjuk dan jari tengah). Pindahkan ekor tikus dari tangan
kanan ke jari kelingking tangan kiri. Tikus/ mencit siap diinjeksi pada
bdominal area. Gunakan jarum 5/8 inchi 24 gauge. Cara pemberian secara
intraperitoneal (i.p), intramuskular (i.m) dan sub cutan (s.c) dapat dilihat
pada gambar 3, 4, dan 5.
Gambar 3. Cara pemberian intra peritoneal
Gambar 4. Cara pemberian per oral dan intra muskular
Gambar 5. Cara pemberian intra peritoneal dan subkutan
contoh
pembuatan laporan praktikum
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FARMAKOLOGI
Nama :........................... Tanggal :......................
NIM :............................
Nama
percobaan
I.
Pendahuluan
A.
Tujuan percobaan
B.
Dasar teori
II.
Cara Percobaan
A.
Alat dan bahan
B.
Cara kerja
III.
Hasil Percobaan
IV.
Pembahasan
V.
Kesimpulan
VI.
Daftar Pustaka
Semarang,..............
Tanda tangan dan nama terang
(......................)
Ketentuan laporan resmi :
1.
laporan resmi ditulis tangan per orang di buku Gelatik
Besar, diberi sampul warna hijau
2.
Diketik dengan rapi : di bagian depan buku dituliskan
Nama dan NIM, Semester IV reguler/ karyawan serta tulisan “LAPORAN RESMI
PRAKTIKUM FARMAKOLOGI II”
PERCOBAAN I
PENGARUH CARA PEMBERIAN TERHADAP ABSORBSI OBAT
I.
Tujuan
Mengenal, mempraktekkan, dan membandingkan cara-cara pemberian obat terhadap kecepatan absorbsinya, menggunakan
data farmakologi sebagai tolok ukur.
II.
Dasar teori
Efek farmakologi suatu obat dipengaruhi oleh berbagai
macam faktor salah satunya adalah rute pemberian obat. Dalam pemilihan rute penggunaan obat
perlu diperhatikan tentang dari tujuan terapi, sifat obat, serta kondisi
pasien. Oleh sebab itu, hal yang perlu diperhatikan adalah yaitu :
a. Tujuan terapi menghindari efek
lokal / sistemik.
b. Apakah kerja awal obat yang
dikehendaki cepat / lama.
c.
Stabilitas obat di dalam lambung / usus.
d. Keamanan relative dalam
penggunaan
e. Rute yang tepat dan menyenangkan
bagi pasien dan dokter.
f.
Harga obat relative ekonomis.
g.
Kemampuan pasien menelan obat melalui oral.
Bentuk sediaan obat yang di berikan akan mempengaruhi kecepatan dan besarnya obat yang di
absorbsi, dengan demikian akan mempengaruhi pula pada kegunaan dan efek terapi obat. Bentuk sediaan dapat memberi efek obat secara local dan sistemik. Efek sistemik jika obat beredar keseluruh tubuh melalui peredaran darah, sedangkan efek local adalah efek obat yang hanya bekerja setempat, misal salep.
Cara pemberian obat turut
menentukan kecepatan dan kelengkapan resorbsi obat. Tergantung dari efek yang
diinginkan, yaitu efek sistemik (di seluruh tubuh) atau efek lokal (setempat),
keadan pasien dan sifat-sifat fisiko-kimiawi obat, dapat dipilih banyak cara
untuk memberikan obat.
I. Efek Sistemis
1. Oral
Pemberian obat melalui mulut
adalah cara yang paling lazim, karena sangat praktis, mudah, dan aman. Namun
tidak semua obat dapat diberikan per oral, misalnya obat yang bersifat
merangsang (emetin, aminofilin) atau yang diuraikan dengan getah lambung
(benzil penisilin, insulin, oksitosin). Cara per oral ini dapat terjadi
inaktivasi oleh hati sebelum diedarkan ke tempat kerjanya. Tapi baik digunakan
untuk mencapai efek lokal dalam usus.
2. Oromukosal
Pemberian melalui mukosa di rongga mulut, ada dua macam cara yaitu :
a.
Sublingual
Obat ditaruh dibawah lidah,
terjadi resorpsi oleh selaput lendir oleh vena-vena lidah yang sangat banyak.
Obat langsung masuk peredaran darah tanpa melalui hati ( tidak di-inaktifkan ).
Pada obat sublingual ini, efek yang diinginkan tercapai lebih cepat dan efektif
untuk serangan jantung, asthma tetapi obat sublingual kurang praktis untuk
digunakan terus menerus karena dapat merangsang selaput lendir mulut.
b. Bucal
Obat yang diletakkan diantara pipi dan gusi.
3. Injeksi
Adalah pemberian obat secara
parental, yaitu di bawah atau menembus kulit / selaput lendir. Suntikan atau
injeksi digunakan untuk :
§ Memberikan efek obat dengan
cepat.
§ Terutama untuk obat-obat yang
merangsang atau dirusak oleh getah lambung.
§ Diberikan pada pasien yang tidak
sadar, atau tidak mau bekerja sama.
§ Keberatan pada pasien yang
disuntik ( sakit ) dan mahal, sulit digunakan.
Macam-macam jenis suntikan :
a. Subkutan / Hipodermal ( s.c ) : Penyuntikan di bawah kulit.
b. Intra muscular ( i.m ) : Penyuntikan dilakukan
dalam otot.
c.
Intra vena ( i.v ) :
Penyuntikan didalam pembuluh darah.
d. Intra arteri ( i. a ) : Penyuntikan kedalam
pembuluh nadi.
e. Intra cutan ( i.c ) : Penyuntikan
didalam kulit
f.
Intra Lumbal :
Penyuntikan kedalam ruas tulang belakang.
g.
Intra Peritonial :
Penyuntikan kedalam rongga perut.
h.
Intra Cardial :
Penyuntikan kedalam jantung.
i.
Intra Pleura :
Penyuntikan kedalam rongga pleura.
j.
Intra articulers :
Penyuntikan kedalam celah-celah sendi.
4. Implantasi
Obat dalam bentuk Pellet steril
dimasukkan dibawah kulit dengan alat khusus (trocar). Terutama digunakan untuk
efek sistemik lama, misalnya obat-obat hormon kelamin (estradiol dan
testosteron ).
5. Rektal
Pemberian obat melalui rectal
atau dubur. Cara ini memiliki efek sistemik lebih cepat dan lebih besar
dibandingkan per oral dan baik sekali digunakan untuk obat yang mudah dirusak
oleh asam lambung.
6. Transdermal
Cara pemakaian melalui permukaan
kulit berupa plester, obat menyerap secara perlahan dan kontinyu masuk kedalam
system peredaran darah, langsung ke jantung.
II. Efek Lokal
1. Kulit ( Percutan )
Obat diberikan dengan jalan
mengoleskan pada permukaan kulit, bentuk obat salep, cream, lotio.
2. Inhalasi
Obat disemprotkan untuk disedot
melalui hidung atau mulut dan penyerapan dapat terjadi pada selaput mulut,
tenggorokan, dan pernafasan.
3. Mukosa Mata dan Telinga
Obat diberikan melalui selaput /
mukosa mata atau telinga, bentuknya obat tetes atau salep, obat diresorpsi
kedalam darah dan menimbulkan efek.
4. Intravaginal
Obat diberikan melalui selaput
lendir atau mukosa vagina, biasanya berupa obat anti fungi dan pencegah
kehamilan. Dapat berupa ovula, salep, cream, dan cairan bilas.
5. Intranasal
Obat diberikan melalui selaput
lendir hidung untuk menciutkan selaput atau mukosa hidung yang membengkak.
FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ABSORBSI OBAT:
§ Faktor terkait obat
Yang mempengaruhi keadaan
absorbsi meliputi keadaan ionisasi, berat molekul, kelarutan, dan formulasi
obat. Obat- obat yang kecil, tak terionisasi, larut dalam lemak menembus
membrane plasma paling mudah.
§ Faktor terkait pasien
Yang mempengaruhi adalah cara
pemberian. Sebagai contoh, adanya makanan dalam saluran pencernaan, keasaman
lambung, aliran darah ke saluran pencernaan mempengaruhi absorbs obat oral.
(James Olson, 1993)
SEDATIFA DAN
HIPNOTIKA
Sedatifa adalah obat- obat yang menekan reaksi terhadap rangsangan
(terutama rangsangan emosi tanpa menimbulkan kantuk)
Hipnotika adalah obat yang menyebabkan tidur yang sulit dibangunkan
disertai penurunan refleks hingga kehilangan tonus otot.
Hipnotika sedative dikelompokkan menjadi golongan barbiturate dan non
barbiturat (kloraldehid)
PHENOBARBITALUM = LUMINAL
Sifat fisikokimia :
Hablur kecil atau serbuk hablur putih berkilat; tidak berbau; tidak berasa;
dapat terjadi polimorfisma. Stabil di udara; pH larutan jenuh lebih kurang 5.
Sangat kurang larut dalam air; larut dalam etanol, dalam eter dan dalam larutan
alkali karbonat; agak sukar larut dalam kloroform.
(Farmakope
Indonesia IV)
III.
Alat dan bahan
A. Alat
1. Spuit injeksi dan jarum (1-2 ml)
2. Jarum benang tumpul untuk per
oral (sonde)
3. Sarung tangan
4. Stop watch
5. Wadah tempat pengamatan uji
(kotak kaca)
6. Luminal Na
B. Hewan uji : mencit
IV.
Cara kerja
1. Tiap kelas dibagi menjadi 4
kelompok
2. Masing-masing kelompok mendapat 5
mencit
3. Berturut-turut kelompok I, II,
III, IV mengerjakan percobaan oral (p.o), sub kutan (s.c), intramuscular (i.m),
dan intraperitoneal (i.p).
4. Mencit ditimbang dan
diperhitungkan volume luminal yang akan diberikan dengan dosis 80 mg/kg BB.
5. Luminal diberikan pada hewan uji
dengan cara pemberian sesuai dengan masing-masing kelompok.
a. Oral, melalui mulut dengan jarum
ujung tumpul
b. Subkutan, masukkan sampai bawah
kulit pada tengkuk hewan uji dengan jarum injeksi
c.
Intramuscular, suntikan ke dalam otot pada daerah otot gluteus maximus
d. Intraperitoneal, suntikan ke
dalam otot rongga perut.Hati-hati jangan sampai masuk ke usus
V.
Tabel pengumpulan data
No.hewan uji
|
Cara pemberian
|
Waktu (menit)
|
Onset
|
Durasi
|
||
Pemberian
|
Reflek balik badan
|
|||||
Hilang
|
Kembali
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
VI.
Pengumpulan data
Setelah hewan uji mendapat perlakuan, amati dengan cermat dan catat waktu
hilangnya reflek balik badan dengan hilangnya kemampuan hewan uji untuk
membalikan badan dari keadaan terlentang. Hitung onset dan durasi waktu tidur
Luminal dari masing-masing kelompok percobaan, dan bandingkan hasilnya
menggunakan uji statistik “analisa varian pola searah” dengan taraf kepercayaan 95%.
VII.
Diskusi
1. Apakah faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi absorsbi obat dari saluran cerna
2. Jelaskan bagaimana cara pemberian
obat dapat mempengaruhi onset dan durasi oat
3. Jelaskan keuntungan dan kerugian
masing-masing cara pemberian obat
VIII.
PERCOBAAN II
DOSIS RESPON OBAT DAN INDEKS
TERAPI
I.
Tujuan
Setelah menyelesaikan percobaan
ini diharapkan mahasiswa :
1. Memperoleh gambaran bagaimana
merancangkan eksperimen untuk memperoleh DE50 dan DL50.
2. Memahami konsep indeks terapi dan
implikasinya.
II.
Dasar teori
Intensitas efek obat pada makhluk hidup lazimnya meningkat jika dosis obat yang
diberikan kepadanya juga ditingkatkan. Prinsip ini memungkinkan untuk menggambarkan kurva efek obat sebagai fungsi dari dosis yang
diberikan, atau menggambarkan kurva dosis-respon. Dari kurva demikian dapat diturunkan DE50 yaitu dosis yang memberikan efek yang pada 50% hewan uji. Prinsip yang sama dapat digunakan untuk menurunkan DL50 yaitu dosis yang menimbulkan kematian pada 50% hewan uji.
Hubungan antara dosis dan respon obat :
1. Efikasi
Adalah respon maksimal yang dihasilkan suatu obat. Efikasi tergantung pada jumlah kompleks obat-reseptor yang terbentuk dan efisiensi reseptor
yang diaktifkan dalam menghasilkan suatu kerja seluler.
2. Potensi
Potensi yang disebut juga konsentrasi dosis efektif,
adalah suatu ukuran berapa banyak obat dibutuhkan untuk menghasilkan suatu respon tertentu. Makin rendah dosis yang dibutuhkan untuk suatu respon yang
diberikan, makin poten obat tersebut.
Potensi paling sering dinyatakan sebagai dosis obat yang
memberikan 50% dari respon maksimal (ED50). Obat dengan ED50 yang rendah lebih poten daripada obat dengan ED50 yang lebih besar
3. Slope kurva dosis-respons
Slope kurva dosis-respon bervariasi dari suatu obat ke obat lainnya. Suatu slope yang
curam menunjukkan bahwa suatu peningkatan dosis yang kecil menghasilkan suatu perubahan yang besar. (Katzung,
1989)
Untuk dapat menentukan secara teliti DE50
ataupum DL50
lazimnya dilakukan berbagai transformasi dengan menggunakan transformasi
log-probit. Dalam hal ini dosis yang digunakan ditransformasi menjadi logaritmanya,
dan presentasi hewan yang memberikan respon ditransformasikan menjadi nilai probit.
Gambar 3. Kurva DosisTerapi dan Dosis Lethal
Indeks terapi :
Obat mempunyai respon farmasetik sepanjang masih adanya dosis obat yang terkandung dalam obat dan berada dalam margin
/ batas keamanan obat. Beberapa obat memiliki batas terapi yang luas, tetapi ada beberapa obat yang
memiliki indeks terapi sempit seperti
digoxin dan fenitoin.
Indeks terapi yang
luas menunjukkan bahwa pasien dapat diberikan dengan range
tingkat dosis yang
lebar tanpa terjadi efek toksik. Obat lainnya mempunyai batas terapi yang sempit dimana perubahan sejumlah kecil dosis obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan atau bahkan efek toksik.
III.
Alat dan bahan
a. Alat dan Bahan
1. Spuit injeksi dan jarum (1-2 ml)
2. Sarung tangan
3. Stopwatch
4. Luminal Na
b. Hewan uji : mencit
IV.
Cara kerja
1. Mencit dibagi menjadi 4 kelompok dan masing-masing terdiri dari 5 ekor.
2. Setiap mencit pada setiap kelompok diberi tanda.
3. Obat luminal diberikan secara intraperitoneal kepada setiap mencit dan setiap kelompok diberikan dosis yang
meningkat. Dosis yang diberikan (faktor pengali 3):
Kelompok
|
Dosis
(mg/kgBB)
|
I
|
30
|
II
|
90
|
III
|
270
|
IV
|
810
|
4. Amati dan catat jumlah mencit yang kehilangan “righting
refleks” pada setiap kelompok dan nyatakan angka ini dalam presentasi serta catat pula
jumlah mencit yang
mati pada setiap kelompok tersebut
5. Gambarkan grafik dosis respon :
Pada kertas grafik log
pada ordinat presentase hewan yang memberikan efek (hilang “righting refleks” atau kematian)
pada dosis yang digunakan. Dengan memperhatikan sebesar titik-titik pengamatan, gamarkan grafik dosis respon yang menurut pemikiran saudara paling representative untuk fenomena yang diamati.
V.
Tabel pengumpulan data
Kel
Dosis
|
No.
hewan
uji
|
Waktu (menit)
|
Onset
|
Durasi
|
Mencit
yang hidup
|
Mencit
yang mati
|
% respon
efek
|
%respon
kematian
|
||
Pemberian
|
Reflek balik
badan
|
|||||||||
Hilang
|
Kembali
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
PERCOBAAN III
METABOLISME OBAT
I.
Tujuan
Mempelajari pengaruh beberapa senyawa kimia terhadap enzIm pemetabolisme obat dengan mengukur efek farmakologinya.
II.
Dasar teori
Metabolisme obat sering disebut juga biotransformasi.
Walaupun antara keduanya juga sering dibedakan. Sebagian ahli mengatakan bahwa istilah metabolisme hanya diperuntukkan bagi perubahan-perubahan biokimiawi/kimiawi yang dilakukan oleh tubuh terhadap senyawa endogen sedang biotransformasi peristiwa yang sama bagi senyawa eksogen
(xenobiotik).
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat
yang nonpolar (larut lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini obat aktif umumnya diubah menjadi inaktif, tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif,
kurang aktif, atau menjadi toksik.(Syarif,
Amir,dkk.1995. Farmakologi danTerapi edisi
V, hal 8)
Pengetahuan tentang
metabolisme obat menempati posisi penting dalam evaluasi keamanan dan kemanfaatan suatu obat. Selain utuk mengetahui bagaimana obat dimetabolisir dan diaktivasi, juga untuk mengetahui jalur dan kecepatan distribusi dan eliminasi obat serta metabolitnya.
Reaksi yang
terjadi selama
proses metabolisme dapat dibagi menjadi dua, yakni fase I meliputi reaksi-reaksi oksidasi, reduksi, dan hidrolisis; dan fase II atau reaksi konjugasi.
Reaksi-reaksi enzimatik
yang berperan dalam proses
tersebut sebagian besar terjadi di dalam sel hepar, dan sisanya terjadi pada organ lain seperti saluran cerna, paru,
ginjal dan darah. Mikroflora gastrointestinal
lebih berperan dalam reduksi dari pada oksidasi, dan hidrolisis dari pada konjugasi.
Reaksi transformasi dan perombakan –perombakan didalam hati terutama dilakukan oleh enzim-enzim mikrosomal dan meliputi sejumlah reaksi biokimiawi.
a. Reaksi Fase I
(reaksi perombakan)
1. Oksidasi : Hidoliasi, dealkilasi,
pembentukan oksida,
desulfurasi, dehalogenasi, dan deaminasi
2. Reduksi : aldehida, azodan nitro. Misalnya vitamin c menjadi dehidroaskorbat
3. Hidrolisa : molekul obat mengikat 1 molekul air dan pecah menjadi dua bagian, misalnya penyabunan ester oleh esterase (de esterifikasi)
b. Reaksi Fase II
1. Konjugasi glukoronida
2. Asetilasi
3. Metilasi
4. Pembentukan asam merkapturat
5. Konjugasi sulfat
Pada fase II ini terjadi reaksi konjugasi
(penggabungan) molekul-molekul obat dan juga metabolit-metabolit yang terjadi pada reaksi fase I dengan senyawa tubuh sendiri.
Induksi dan Inhibisi enzim pemetabolisme
Banyak obat mampu menaikkan kapasitas metabolismenya sendiri dengan induksi enzim (meningkatkan kecepatan sintesis enzim),
seperti fenobarbital,
etanol, fenilbutasom. Kenaikan aktifitas enzim pemetabolisme ini menyebabkan lebih cepatnya
metabolisme dan meningkatkan proses deaktifasi obat sehingga menurunkan kadarnya dalam plasma
dan memperpendek waktu paroh obat. Karena itu intensitas dan durasi farmakologinya berkurang.
Sekobarbital, pentobarbital, alobarbital dan fenobarbital menaikkan kadar sitikrom P-450, serta meningkatkan kecepatan beberapa reaksi
metabolisme seperti deetilasifenasetin, demetilasiaminopirin,
4-hidroksilasi bifenil dan hidroksilasi heksobarbital.
Ada juga beberapa obat yang menghambat metabolisme suatu obat,
seperti simetidin.
Penghambatan metabolisme oleh obat atau xenobiotic dapat berlangsung dalam beberapa cara, termasuk destruksi dari enzim-enzim yang sudah ada sebelumnya, penghambatan sintesis enzim atau dengan pembentukan kompleks, sehingga membuat tidak aktifnya enzim pemetabolisme obat.
Pemberian Phenobarbital bersama-sama warfarin akan mengurangi efek antikoagulasinya,
karena Phenobarbital
meningkatkan produksi CYP2C9 yang berperan pada metabolisme Warfarin (antikoagulan). Demikian juga pada pemberian simetidin
(antagonisreseptor H-2), akan menghambat aktivitas sitokrom P-450 dalam memetabolisme obat
lain.
III.
Alat dan bahan
A.
Alat dan Bahan
1. Inductor enzim : Phenobarbital Na
2. Inhibitor enzim : Simetidin
3. Jarum suntik oral
4. Stop watch
B.
Hewan uji : mencit
IV.
Cara kerja
Tiap kelas dibagi dalam 3 kelompok,
masing-masing mendapat
5 hewan uji.
1.
Kelompok
I (kontrol): hewan uji diberi Phenobarbital 80
mg/kg BB dosis tunggal secara intraperitoneal
2.
Kelompok
II : seperti kelompok I dengan praperlakuan phenobarbital
80mg/kg BB i.p selama tiga hari tiap 24 jam.
3.
Kelompok
III : seperti kelompok I yang diberikan bersama-sama dengan simetidin i.p 80 mg/kgBB 1 jam
sebelumnya
Pengamatan : lama waktu sampai terjadi hypnosis serta lama
waktu tidur karena Phenobarbital dengan
parameter righting reflex
V.
Tabel pengamatan
Kelompok
Dosis
|
No.hewan uji
|
Waktu (menit)
|
Onset
|
Durasi
|
|||||
Phenobarbital
(hari)
|
simetidin
|
Reflek balik badan
|
|||||||
Hilang
|
Kembali
|
||||||||
|
|
1
|
2
|
3
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
VI.
Diskusi
1. sebutkan senyawa-senyawa yang
dapat menginduksi dan menghambat enzim-enzim yang berperan dalam metabolisme
obat
2. jelaskan mekanisme induksi dan
inhibisi enzim
3. jelaskan hubungan antara induksi
dan inhibisi enzim dengan efek farmakologi dan toksisitas
4. jelaskan pengaruh kekurangan
konsumsi asam-asam amino terhadap kapasitas enzim, yang berperan dalam
metabolisme obat
PERCOBAAN IV
ANALGETIKA
I.
Tujuan
Mengenal, mempraktikkan, dan membandingkan daya analgetik asetosal dan
paracetamol menggunakan metode rangsangan kimia.
II.
Dasar teori
Analgetika adalah obat atau
senyawa yang dipergunakan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri. Analgetika
yang diberikan kepada penderita untuk mengurangi rasa nyeri yang dapat
ditimbulkan oleh berbagai rangsang mekanis, kimia dan fisis.
Rasa nyeri tersebut terjadi
akibat terlepasnya mediator-mediator nyeri (misalnya bradikinin, prostaglandin)
dari jaringan yang rusak yang kemudian merangsang reseptor nyeri di ujung saraf
perifer ataupun tempat lain. Dari tempat-tempat ini selanjutnya rangsang nyeri
diteruskan ke pusat nyeri di korteks serebri oleh syaraf sensoris melalui
sumsum tulang belakang dan thalamus.
Berdasarkan atas rangsang nyeri yang
dipergunakan, maka terdapat berbagai metode penetapan daya analgetika suatu
obat. Salah satu diantaranya menggunakan rangsang kimia sebagai penimbul rasa
nyeri, seperti yang akan dipraktekan di sini.
Berdasarkan proses terjadinya rasa
nyeri tersebut, maka rasa nyeri dapat dilawan dengan beberapa cara:
a. Merintangi pembentukan rangsangan
dalam reseptor nyeri perifer (analgetika perifer, anestesi lokal).
b. Merintangi penyaluran rasa nyeri
dalam saraf-saraf sensoris (anestesi lokal).
c. Memblokade atau menghambat rasa
nyeri di pusat nyeri dalam susunan syaraf pusat (analgetika narkotika, anestesi
umum).
Secara umum, analgetika dibagi ke dalam dua golongan,
yakni:
a. Analgetika non narkotika atau integumental analgetics (misalnya
asetosal, parasetamol). Obat-obat ini dinamakan analgetika perifer dikarenakan
tidak mempengaruhi susunan syaraf sentral, tidak menurunkan kesadaran dan tidak
mengakibatkan ketagihan.
b. Analgetika narkotika atau visceral analgetics (misalnya morfin).
Analgetika ini memiliki daya penghalang rasa nyeri yang sangat kuat sekali,
mengurangi kesadaran (mengantuk) dan memberikan perasaan nyaman (euphorbia).
Obat ini dapat juga menyebabkan toleransi, kebiasaan (habituasi),
ketergantungan fisik dan psikis (adiksi) dan gelaja-gelaja abstinensia bila
diputuskan pengobatan.
III.
Alat dan bahan
a. Bahan
1. Larutan CMC Na 0,5%
2. Suspensi asetosal 1% dalam CMC Na
0,5%
3. Suspensi parasetamol 1% dalam CMC Na
0,5%
4. Suspensi ibuprofen 0,5% dalam CMC Na
0,5%
5. Larutan steril asam asetat 1%
b. Hewan uji: mencit
c.
Alat
1. Spuit injeksi (0,1-1ml)
2. Jarum oral (ujung tumpul)
3. Beker glass
4. Stop watch
IV.
Cara kerja
1. Mencit 20 ekor, dibagi menjadi 4
kelompok.
2. Mencit kelompok I (kontrol), diberi larutan
CMC Na 1% p.o, dengan volume sama dengan larutan pembawa obat pada kelompok
mencit perlakuan.
3. Mencit kelompok II, diberi suspensi
parasetamol 1% dalam CMC Na 0,5% dosis 30 ml/kg BB, p.o.
4. Mencit kelompok III, diberi suspensi
asetosal 1% dalam CMC Na 0,5%, dosis 30ml/kg BB, p.o
5. Mencit kelompok III, diberi suspensi
ibuprofen 1% dalam CMC Na 0,5%, dosis 30ml/kg
BB, p.o
V.
Pengumpulan data
Setelah keempat kelompok hewan uji mendapat perlakuan, 15 menit kemudian, seluruh hewan disuntik i.p larutan
steril asam asetat 1% v/v dengan dosis 100 mg/kg BB.
Beberapa menit kemudian mencit akan menggeliat (perut kejang dan kaki ditarik
ke belakang).
Catat jumlah kumulatif geliat yang timbul setiap selang waktu 5 menit
selama 60 menit. Hitung persen daya analgetik dengan rumus :
% daya
analgetik = 100 – (P/K x 100)
Dimana, P = jumlah kumulatif geliat mencit yang diberi obat analgetika
K = jumlah kumulatif geliat mencit yang
diberi CMC Na (kontrol)
VI.
Analisa data
Bandingkan daya analgetika asetosal, parasetamol, dan ibuprofen dengan uji
statistic “t-test” dengan taraf kepercayaan 95%.
VII.
Diskusi
1. Apakah analgetika itu
2. Mengapa analgetika kadang-kadang
perlu diberikan kepada penderita
3. Bagaimana terjadinya rasa nyeri
4. Bagaimana mekanisme daya
analgetik paracetamol dan asetosal, dan ibuprofen
PERCOBAAN V
EFEK SEDATIF
I.
Tujuan
Mempelajari
pengaruh obat penekan susunan syaraf pusat
II.
Dasar teori
Obat-obat sedative-hipnotik memiliki efek farmakologi
yang mirip dengan anestetik umum, jika obat-obat tersebut diberikan dengan
dossi yang lebih besar, efeknya sama dengan anesteti umum. Kedua jenis obat
tersebut mempunyai mekanisme yang sama dalam menekan susunan syaraf pusat
(Meyers, dkk., 1974)
Obat-obat penenang (antipsikotik) berbeda pengaruhnya
dengan hipnotik sebab tidak menimbulkan efek anestetik. Sebagai contoh
klorpromasin, penekanannya pada susunan syaraf pusat tidak begitu dalam
sehingga hanya menimbulkan sedasi. Efek sedative dapat mempengaruhi kemampuan
koordinasi motorik hewan coba. Besar kecilnya pengaruh terhadap koordinasi
motorik tersebut dapat menggambarkan besar kecilnya efek sedasi. Oleh sebab
itu, efek sedasi ini akan kita amati melalui eksperimen dengan binatang
menggunakan parameter rotarod, daya cengkeram, reflex kornea, dan diameter
pupil mata.
III.
Alat dan bahan
Alat yang
digunakan :
1.
Rotarod (batang berputar)
2.
Alat suntik
Bahan:
1.
Hewan uji
2.
Phenobarbital
3.
Klorpromasin
4.
Diazepam
IV. Cara kerja
1. Mencit (n=20) ditimbang, dan dibagi
menjadi 4 kelompok, masing-masing 5 ekor. Sebelum pemberian obat, hewan
tersebut diletakkan di atas rotarod selama 5 menit untuk adaptasi.
2. Binatang diberi obat-obat berikut
secara per oral :
Kelompok control diberikan 0,9% garam fisiologis
Kelompok I : Phenobarbital
dosis 80 mg/kg BB
Kelompok II : klorpromasin
dosis 40 mg dan 100 mg/kg BB
Kelompok III : Diazepam dosis
20-50mg/kg BB
3. Pada menit-menit ke 15,30,60, dan
120 menit diletakkan di atas rotarod selama 2 menit
4. Catat berapa kali binatang terjatuh
dari rotarod.
5. Selama eksperimen berlangsung, amati
juga : reflex balik badan dan kornea, serta daya cengkeram (pada kawat kasa).
6. Perhitungan potensi relative obat
didasarkan pada data rotarod, dengan membuat asumsi daya relative klorpromasin
100 mg/kgBB adalah bernilai absolute (skor=1)
PERCOBAAN VI
UJI TOKSISITAS AKUT
I.
Tujuan
1. Tujuan utama adalah untuk menetapkan
potensi ketoksikan akut, yakni kisaran dosis letal atau dosis toksik obat
terikat pada 1 jenis hewan uji atau lebih.
2. Selain itu juga untuk menilai
berbagai gejala toksik yang timbul, adanya efek toksik yang khas dan mekanisme
yang memerantarai kematian.
II.
Dasar teori
Uji
toksikologi secara umum dibagi menjadi dua golongan, yaitu uij ketoksikan tak
khas dan uji ketoksikan khas.Uji ketoksikan tak khas ialah uji toksikologi yang
dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan atau spectrum efek toksik sesuatu
senyawa pada aneka ragam jenis hewan uji. Termasuk dalam uji ketoksikan tak
khas meliputi uji ketoksikan akut, sub akut/sub kronis dan kronis. Uji ketoksikan khas ialah uji
toksikologi yang dirancang untuk mengevaluasi secara rinci efek toksik yang
khas sesuatu senyawa atas fungsi organ, atau kelenjar tertentu pada aneka ragam
subjek atau hewan uji. Termasuk dalam uji ketoksikan khas meliputi : uji
potensiasi, uji keteratogenikkan, kekersinogenikan, uji reproduksi, uji kulit
dan mata serta perilaku hewan uji.
UJI KETOKSIKAN AKUT
Ketoksikan
akut adalah derajat efek toksik
suatu senyawa yang terjadi dalam waktu singkat setelah pemberiannya dalam dosis
tunggal. Batasan waktu singkat disini ialah rentang waktu selama 24 jam setelah
pemberian senyawa. Uji ketoksikan akut dapat ditakrifkan sebagai uji ketoksikan
sesuatu senyawa yang diberikan atau dipejankan dengan dosis tunggal pada hewan
uji tertentu, dan pengamatannya dilakukan 24 jam.
Sasaran :
·
Tolak ukur
kuantitatif : kisaran dosis letal atau
toksik
·
Tolak ukur
kualitatif : gejala toksik, wujud,
mekanisme efek toksik
Tolak ukur kuantitatif yang paling
sering digunakan untuk menyatakan kisaran dosis toksik atau letal adalah dosis
letal tengah (LD50) atau dosis toksik tengah (TD50),
yaitu suatu besaran yang diturunkan secara statistic, guna menyatakan dosis
tunggal sesuatu senyawa yang diperkirakan dapat mematikan atau menimbulkan efek
toksik yang berarti pada 50% hewan uji. Semakin kecil harga LD50
atau TD50 berarti semakin besar potensi ketoksikan akut racun.
Beberapa metode yang
sering digunakan untuk menghitung harga LD50:
1.
Metode grafik Lifhfiled dan wilcoxon
2. Metode kertas grafik probit
logaritma (Miller-Tainter)
3. Metode rata-rata bergerak
Thompson-Weil
4.
Menurut Farmakope Indonesia
Yang kesemuanya didasarkan pada
kekerabatan antara dosis dan % hewan yang menunjukkan respon.
Contoh perhitungan harga LD50
menurut FI:
Log LD50 = a – ( b (∑
Pi-0,5 ))
a =Logaritma dosis terendah yang
menyebabkan jumlah kematian 100% tiap kelompok
b = beda logaritma dosis yang
berurutan
pi = jumlah hewan yang mati
menerima dosis i dibagi dengan jumlah hewan seluruhnya yang menerima dosis i
Syarat :
1.
Menggunakan seri dosis dengan pengenceran berkelipatan tetap
2. Jumlah hewan uji / biakan
jaringan tiap kelompok harus sama
3. Dosis diatur sedemikian rupa
sehingga memberikan efek 0-100%
III.
Alat dan bahan
a. Alat :
1. Spuit injeksi dan jarum
2. Beaker glass
3. Labu takar
4. Batang pengaduk
5. Cawan porselin
6. Timbangan ohause
7. Kotak kaca
b. Bahan :
1. CMC Na
2. Propanolol
3. Aqua dest
4. Etanol
5. Hewan uji : mencit galur swiss
usia 2-3 bulan
IV.
Cara kerja
1. Mencit (n=30) ditimbang, dan dibagi
menjadi 6 kelompok, masing-masing 5 ekor.
2. Binatang diberi obat-obat berikut
secara intraperitoneal :
a. Kelompok control diberikan CMC Na 0,5%
b. Kelompok I : propanolol dosis I
c. Kelompok II : propanolol dosis II
d. Kelompok III : propanolol dosis III
e. Kelompok IV : propanolol dosis IV
f. Kelompok V : propanolol dosis V
3. Dilakukan pengamatan
gejala-gejala klinik dan kematian selama 24 jam
4. Pengamatan jumlah kematian hewan
uji
5. Dihitung nilai LD50
menurut FI dan tabel probit.
Pengamatan Gejala Klinis
Dalam Uji Ketoksikan Akut
Pengamatan klinik Kegiatan
motorik: perubahan frekuensi dan pergerakan alami
NO
|
Pengamatan tanda-tanda
|
Organ, jaringan, atau system yang dipengaruhi
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
|
Penurunan atau peningkatan pada kegiatan motorik spontan, keanehan, grooming, daya penggerak
Sifat tidur : hewan uji tampak mengantuk, tapi dapat dibangunkan oleh
rangsangan aktivitas normal
Hilangnya refleks balik badan dan hilangnya keseimbangan tubuh
Anastesia : hilangnya reflek balik badan dan respon nyeri
Catalepsy: hewan uji cenderung
tetap diam di setiap posisi dia berdiri
Ataxia: ketidakmampuan untuk mengendalikan dan mengkoordinasikan gerakan
pada saat hewan uji berjalan tanpa kelenturan, epraxia, paresis, atau
kekakuan
Daya penggerak yang luar biasa: kejang, berjalan, mengayuh, melompat, dan
postur tubuh rendah
Tiarap: bergerak dan bersandar pada perut
Tremor: gemetar dan bergetar melibatkan anggota badan atau seluruh tubuh
Faskulasi: melibatkan gerakan otot, terlihat di punggung, bahu, kaki
belakang, dan cakar
|
Somatomotor, SSP
SSP pusat tidur
SSP, sensorik, neuromuscular
SSP, sensorik
SSP, sensorik, neuromuskular, autonom
SSP, sensorik
SSP, sensorik, neuromuskular
SSP, sensorik, neuromuskular
SSP, neuromuskular
SSP, autonom, neuromuskular
|
(Edward,
2001: 865-866)
Data Perubahan Perilaku Selama 3 jam
Kelompok
|
Mencit
|
Perilaku
|
||||||
A
|
B
|
C
|
D
|
E
|
F
|
G
|
||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Keterangan :
a : menggaruk
hidung dan tubuh
b : berdiri
dengan dua kaki belakang
c
: aktivitas
menurun
d : pernafasan
cepat dan dangkal
e : diam
f : memanjangkan tubuh
g : gemetar
|
+ :
gejala toksik jarang
++ : gejala toksik sedang
+++ : gejala toksik sering
- : tidak
ada gejala toksik
|
|
|
Tabel Probit Dengan
Berbagai Persentase Kematian Hewan Uji Berdasarkan Farmakope Indonesia Edisi IV
Persentase kematian
|
Probit
|
|||||||||
0
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
|
0
|
-
|
2,67
|
2,95
|
3,12
|
3,25
|
3,36
|
3,45
|
3,52
|
3,59
|
3,66
|
10
|
3,72
|
3,77
|
3,82
|
3,87
|
3,92
|
3,96
|
4,01
|
4,05
|
4,08
|
4,12
|
20
|
4,16
|
4,19
|
4,23
|
4,26
|
4,29
|
4,33
|
4,36
|
4,39
|
4,42
|
4,45
|
30
|
4,48
|
4,50
|
4,53
|
4,56
|
4,59
|
4,61
|
4,64
|
4,67
|
4,69
|
4,72
|
40
|
4,75
|
4,77
|
4,80
|
4,82
|
4,85
|
4,87
|
4,90
|
4,92
|
4,95
|
4,97
|
50
|
5,00
|
5.03
|
5.05
|
5,08
|
5,10
|
5,13
|
5,15
|
5,18
|
5,20
|
5,23
|
60
|
5,25
|
5,28
|
5,31
|
5,33
|
5,36
|
5,39
|
5,41
|
5,44
|
5,47
|
5,50
|
70
|
5,52
|
5,55
|
5,58
|
5,61
|
5,64
|
5,67
|
5,71
|
5,74
|
5,77
|
5,81
|
80
|
5,84
|
5,88
|
5,92
|
5,95
|
5,99
|
6,04
|
6,08
|
6,13
|
6,18
|
6,23
|
90
|
6,28
|
6,34
|
6,41
|
6,48
|
6,55
|
6,64
|
6,75
|
6,88
|
7,05
|
7,33
|
99
|
0,0
|
0,1
|
0,2
|
0,3
|
0,4
|
0,5
|
0,6
|
0,7
|
0,8
|
0,9
|
7,33
|
7,37
|
7,41
|
7,46
|
7,51
|
7,58
|
7,65
|
7,75
|
7,88
|
8,09
|
Penggolongan potensi ketoksikan akut menurut kriteria
Loomis
Potensi ketoksikan Akut
|
Dosis
|
Luar biasa toksik
|
<1 mg/kg
|
Sangat toksik
|
1-50 mg/kg
|
Cukup toksik
|
50-500 mg/kg
|
Sedikit toksik
|
500-5000 mg/kg
|
Praktis tidak toksik
|
5-15 g/kg
|
Relatif kurang berbahaya
|
>15 g/kg
|
(Loomis, 1978 : 22)
Langganan:
Postingan (Atom)